Sabtu, 21 Agustus 2010

Keracunan Keong Racun

JIKA keong pun telah menjadi beracun pasti ada hukum keserampakan yang menjadi latar belakangnya. Hukum itu bernama aneka sebab, biasanya sangat sederhana, tetapi berkumpul menjadi satu pada saat yang sama lalu bum... menjadi bola api raksasa.

Maka fenomena lagu ”Keong Racun” yang tak sengaja itu adalah bukti, bahwa ketidaksengajaan jauh lebih mencengangkan kekuatannya ketimbang kesengajaan. Jika kesengajaan itu cuma hasil manajemen biasa, ketidaksengajaan itu hasil perencanaan alam yang manusia bukan kawan sepadan untuk menandinginya. Karena fenomena meledaknya lagu ”Keong Racun” ini secara teori setara dengan meledaknya pesawat ulang-alik dan juga meledaknya reaktor nuklir. Semua cuma disebabkan oleh sebab-sebab yang nyaris remeh, misalnya selang bocor, atau skrup kendur pada awalnya.

Hari Mengeluh Nasional

RASANYA, siapa saja menjadi pengeluh pada hari-hari ini. Rakyat mengeluh karena ledakan tabung gas dan kemelambungan harga sembako, pengusaha mengeluh karena rencana kenaikan tarif dasar listrik, anggota dewan mengeluh atas kinerja pemerintah, presiden mengeluh karena kritik dan liputan media. Persoalannya, kalau semua pihak mengeluh, lalu siapa yang akan menjadi pendengarnya?

Jika sebuah keluarga tak mempunyai tempat untuk mengeluh, keluarga itu akan menjadi rapuh. Jika sebuah masyarakat tidak memiliki figur untuk mengeluh, masyarakat itu akan menjadi kumpulan keganasan. Jika sebuah negara hanya berisi orang-orang yang mengeluh, negara tersebut akan diombang-ambingkan bukan oleh penderitaan, tetapi lebih banyak oleh perasaan. Jika rasa menderita itu berlangsung kolektif, ia akan segera dipercaya sebagai kenyataan. Lihat saja bias perasaan itu, kita mulai dari keluhan pengusaha yang saya lihat di televisi ini.

“Jika TDL naik lagi habislah pengusaha kita. Listrik untuk rumah tangga juga harus dinaikkan. Jangan pengusaha terus yang ikut menanggung...,” kira-kira begitu sebagian katanya.
Entah bagaimana rasanya jika hari ini tak bersua. Ada kejanggalan rasanya dihati...entah dimana...dijiwa...entah direlung jantung terdalam...ingin kuraih asamu yang hilang tertiup angin surgawi. Dapatkah ku menjangkaunya?

Hari berganti seperti layaknya membalik sebuah halaman dalam buku, tapi tidak dapat diulang dari awal kembali untuk membacanya. Sanggupkah kau berjalan bersama tanpa harus dari awal cerita? Pelukan yang terasa bagaikan awan kini mungkin sudah berubah menjadi duri ditangkai bunga cantik yang senantiasa dikirim kan oleh para pecinta yang sedang mabuk.

Kamis, 12 Agustus 2010

Helnariong...

Hari telah menjelang ditempatku, sayang...Bintang telah berkelipkelip bersama gugusan warnawarni cahaya. Berpendar indah dalam keremangan. Tiba saatnya diriku berada diperaduan hangat dalam angkasa. Namun, sebelum aku pamit larut dalam mimpi bersamamu. Sekali lagi aku terangi hatimu dengan bait suci.

Bulan menyapa dengan ramah diatas sana, tersenyum memandang kita. Walaupun berbeda suasana dan tempat, seperti yang pernah kau ungkapkan bahwa rasa kita tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Melainkan menjadikan Awan dan Bumi sebagai dasar dan rasa...

Kau pernah bilang bahwa jika kupandang hamparan langit luas, maka aku kan melihat kerinduanmu disana. Dan jika kupejamkan mata ini niscaya kurasakan betapa merindunya dirimu akan ku... Terimakasih atas bahasamu....niatmu tersampaikan dalam hati penuh cinta...


Cinta,
-Hening-
Around here, however, we do not look backwards for very long
We keep moving forward, Opening up new doors and doing new things, Because we are curious.. and curiosity keep leading us down new paths