Minggu, 17 Oktober 2010

Sungguh, keindahan pagi itu tidak akan datang sebagai hadiah. Tak peduli udara pagi selalu lebih segar, tak peduli apakah di pagi hari burung-burung selalu bernyanyi, tetapi bagi hati yang sumpek, semuanya tak punya arti.

Alam memang memberikan banyak setiap kali, tetapi percuma saja jika kita tidak punya tempat untuk menerima. Apa yang sedang saya upayakan itu adalah mengajak siapa saja untuk lebih punya kesiapan menerima. Kegembiraan adalah sejenis udara bebas yang harus kita tangkap dengan memertinggi daya dan pemancar penerima. Dan pemancar itu, tidak bisa dibangun sendiri, tapi harus bersama-sama.

...Mundur dalam Kemajuan...

Semakin jalan dihaluskan, semakin keruh ia oleh kebut-kebutan. Karenanya banyaklah jalan halus yang kembali harus dibuat benjolan. Semakin maju teknologi rem ditemukan, malah semakin tinggi angka kecelakaan. Ketika sebuah mobil dilengkapi bantal peredam benturan, semakin berani seorang sopir menantang kecelakaan. Inilah fenomena homeostasis. Di dalam setiap kemajuan, seseorang malah sering merasakan kemunduran. Semakin kaya, semakin mudah seseorang dililit kemiskinan. Semakin banyak diberi, semakin mudah orang merasa kekurangan.

Fenomena ini jika sedang belangsung akan menyerang siapa saja sebagai korban berjamaah. Jika kita adalah pejabat, apa saja yang kita kerjakan rasanya salah senantiasa. Perasaan kita, media hanya menulis soal-soal yang buruk belaka. Benarkah? Tidak. Karena jika media seluruhnya cuma berisi tentang keburukan, ia akan mati dengan sendirinya. Di setiap kabar tentang korupsi, kriminalitas dan bencana, televisi pasti juga menyiarkan tentang pelawak Sule dan Budi Anduk. Di luar kabar buruk, media pasti juga menyiarkan gelak tawa pada saat yang sama. Tetapi memang cukup dengan sebuah kabar buruk, apalagi menyangkut kita, ia akan bersemayam dalam benak demikian lama.

Begitu pula kalau kita adalah rakyat. Rasanya apa saja yang dibuat oleh pemerintah itu terasa kurang belaka. Jalan-jalan dilebarkan, ya terasa macet juga. Trotoar-trotoar dibuat, akhirnya kembali juga sebagai kakilima juga. Semua peraturan sudah mengalami perubahan, bahkan undang-undang pun berkali-kali sudah diamandemen, tetapi perasaan kita kepada kemajuan, rasanya masih selalu dahaga. Selalu ada perasaan bahkan si anu kurang reformis, dia masih Orde Baru, mereka malah tetap sebagai Orde Lama dan seterusnya. Betapapun semua telah dibuka, tetapi selalu ada yang terasa tidak telanjang sepenuhnya.

Apakah seluruh kinerja pemerintah cuma berisi keburukan saja? Pasti tidak. Karena perasaan dan kenyataan adalah sesuatu yang berbeda. Apa yang kita rasakan sangat berbeda dari sesuatu yang mereka rasakan. Ada kenyataan versi kita, ada kenyatan versi mereka. Karena itu kenyataan tersebut bermacam-macam versinya, tergantung cuaca di kepala. Maka, kalau kenyataan sedang terlihat mendung, pasti bukan karena seluruh dunia sedang mendung, melain-kan karena mendung itu sedang menebal tepat di kepala kita sendiri.

Begitu juga kalau kita pengusaha. Ada saja perasaan bahwa iklim yang berlangsung ini tidak juga ramah usaha. Ada saja peraturan yang membingungkan dan menghambat kemajuan. Perizinan yang katanya satu atap itu ternyata masih beratap-atap. Apakah seluruh gambaran buruk ini benar? Pasti tidak. Kota-kota di seluruh dunia termasuk di Indonesia berjalan dengan tingkat modernisasi yang demikian cepat.

Memang masih ada kampung dan gubuk liar, tetapi keberadaannya pasti tidak mengubur adanya fakta sebuah perkembangan.

Ada banyak perasaan mundur, tetapi jangan sampai mengubur fakta adanya kemajuan. Ada kabar sedih, tetapi jangan sampai melupakan banyak fakta tentang kegembiraan.

Fenomena homeostasis tampaknya memang penuh paradoks, tetapi sesungguhnya ia sedang menjalankan hukum keseimbangan. Bahwa untuk seimbang, di dalam maju memang harus ada perasaan mundur.