Kamis, 02 Juni 2011

Meninggi untuk merendah

ADA yang tinggi tapi tidak meninggikan dan ada yang rendah tapi tidak merendahkan. Itulah kerendahan yang benar dan itulah ketinggian yang keliru. Tapi tidak mudah mengidentifikasi mana tinggi dan rendah yang keliru itu, walau juga tidak sulit. Tidak mudah karena baik yang benar maupun yang keliru bisa berada dalam sebuah ketinggian yang sama. Tetapi tidak sulit, karena mudah alat ukurnya, yakni apakah seseorang kehilangan mutu justru tepat ketika ia sedang meninggi.
REZEKI terbesar seseorang ternyata adalah sudut pandangnya. Banyak sekali persoalan menjadi ruwet bukan karena persoalan itu benar-benar ruwet, melainkan karena ia dipikir secara ruwet. Memang benar ada jenis persoalan yang ruwet. Tetapi di depan sudut pandang pengurai, keruwetan itu akan terurai. Di depan sudut pandang yang terang, bidang yang gelap akan bertemu titik terang.

Begitu juga dengan sebuah bangsa. Indonesia yang luas ini ternyata tidak terlalu luas di tangan sudut pandang yang luas. Sebelum era Twitter berlangsung, para pendiri bangsa ini sanggup menemukan Sumpah Pemuda. Teks Sumpah Pemuda adalah puisi yang tidak pernah gugur keindahannya. Bagaimana mungkin negeri dengan ribuan pulau yang belum dijangkau internet itu bisa demikian mudah bersatu.
Jauh di sebelah zaman komputer tablet, para pemuda “gaul“ zaman itu menemukan bentuk komunikasi yang lebih cepat dari email, yakni spirit kebangsaan.
Spiritualitas adalah teknologi super highway. Ia melesat setara dengan kecepatan cahaya.