Sabtu, 01 Januari 2011

KAMBING YANG HITAM SEKALI . . .

Di setiap cerita kalah harus ada pihak yang salah. Malah jika sebuah tim sepak bola kesayangan kalah, jumlah pihak yang dianggap bersalah itu bisa banyak sekali. Misalnya, karena pemain terlalu sibuk diwawancarai, sibuk melayani undangan ke sana kemari, terlalu banyak dipuji, sibuk dipolitisasi dan sibuk menggelar acara di luar bola termasuk acara doa bersama. Bayangkan, cuma karena kalah, orang berdoa saja bisa dipersalahkan. Jadi jumlah pihak yang bersalah itu bisa banyak sekali, dan kambing itu akhirnya tidak cuma hitam tetapi malah hitam sekali.

Di Indonesia, prosedur kalah itu rumit sekali. Untuk mencari di mana ujungnya ia harus berliku ke sana kemari. Ke mana saja kita memandang yang ketemu cuma tudingan. Semua jari menuding, sampai yang benar-benar harus dituding tidak ada. Mencari sumber kesalahan adalah sesuatu yang rumit, karena tak ada pihak yang mengakui. Alih-alih diakui, sebuah kesalahan malah bisa dikaburkan, dihapuskan dan dilupakan. Itulah kenapa mengulang kesalahan hampir-hampir menjadi tradisi.

Inilah asal-usul kepemilikan mental kalah itu. Mental ini amat rapi menempatkan sebuah kesalahan di ceruk yang sangat dalam, rapat dan tersembunyi. Kesalahan tidak dipacak di tempat terbuka agar mudah dikuliti bersama dan dibersihkan noda-nodanya. Kesalahan lebih banyak diselimuti, dihias dengan permakluman dan pembenaran. Hasilnya, mengulang kesalahan menjadi soal yang amat mudah terjadi. Seseorang bisa ringan hati melakukan kesalahan kerena biang kesalahan itu sudah mengalami pengabstrakan, anomin, dan berserak banyak sekali.

Orang tak perlu risau membuang sampah sembarangan karena pelakunya banyak sekali. Orang tak perlu takut korupsi karena penggemarnya banyak sekali. Kolektivitas adalah benteng yang aman bagi kesalahan. Maka peternakan kesalahan terus dilestarikan dan tak boleh dibiarkan sendirian. Kesalahan harus didesain sedemikian rupa agar menyulitkan hukuman. Cara temudah ialah dengan cara mengerjakannya secara bersama-sama dan meniadakan aktor utama. Maka jika korupsi, ia harus dibagi rata dengan cara mengucur ke bawah, mengibas ke samping dan menyembur ke atas. Dengan cara ini hukum cuma bisa geleng-geleng kepala. Tapi karena menggeleng pun tak lagi ada gunanya sehingga banyak hukum yang memilih untuk ikut mengangguk-angguk saja.

Jadi mental kalah itu bukan cuma sekadar persoalan sebuah tim sepak bola. Ia adalah “budaya leluhur” yang diwariskan pada generasi berikutnya dan telah menyebar ke segenap jurusan. Jika pengendara sepeda motor ditilang karena spion tidak lengkap misalnya, ia akan berkata bahwa polisi adalah tukang mencari-cari. Pengendara ini lalu merasa adalah pihak yang dizalimi. Karena betapa banyak kesalahan yang sama, tetapi kenapa yang ditiliang cuma dirinya. Orang ini lalu merasa malang dan dikorbankan. Begitu penuh konsentrasinya kepada perasaan malang itu sampai ia lupa pada kesalahannya sendiri.

Di dalam budaya mental kalah, bisa berlaku pemikiran terbalik: pelaku bisa merasa sebagai korban. Pemilik kesalahan bisa merasa sebagai korban kezaliman. Jika masih begini cinta sebuah bangsa kepada barang salah, ia akan terus dihadiahi mental kalah.