Sabtu, 17 Agustus 2013

SALAH satu kegiatan terbesar demokrasi ialah mengembalikan urusan publik untuk diurus oleh publik sendiri. Jadi inilah era ketika publik harus mengurus dirinya sendiri. Sungguh soal yang tidak mudah. Karena alam bawah sadar publik hingga saat ini adalah bawah sadar pihak yang masih diurus negara.
Pihak yang baru bebas tapi belum membebaskan negara dari aneka urusan pribadi. Ini sungguh akan membahayakan kedaulatan publik itu sendiri. Itulah kenapa, sekarang tren menyalahkan negara tanpa menyalahkan diri sendiri sedang mencapai titik tertinggi. Di mana-mana negara sedang jadi tersangka tapi peran diri sendiri lenyap entah di mana.
Contoh mudahnya begini: seseorang yang ngomel tentang kemacetan ini adalah juga seseorang yang di garasinya berderet-deret mobil pribadi, masih ditambah aneka sepeda motor dan motor besar. Jelas sudah, selain korban ia adalah juga pelaku. Karena itu, kalaupun ia tak membantu mengatasi kemacetan, setidaknya tidak mengutuki keadaan. Paradoks seperti ini di dalam masyarakat banyak sekali.
Seseorang yang sedang berapi-api marah pada korupsi adalah juga seseorang yang sedang merokok sambil mengasapi ibu-ibu yang tengah menggendong bayi. Telunjuk yang selalu mengarah pada negara itu adalah telunjuk yang absen menuding diri sendiri. Negara, oleh demokrasi, sedang diminta mengurangi peran.
Terus apa jadinya jika peran yang telah kepalang dilepaskan itu menjadi peran yang macet karena tak dijalankan. Negara sedang tidak boleh mencampuri urusan hakim dan jaksa. Institusi hukum adalah sebuah lembaga yang mandiri. Tapi apa jadinya jika kemandirian hanya dijadikan alat baru korupsi. Kebebasan, kemandirian, otonomi, diminta cuma untuk memakmurkan kesalahan. Bahwa negara sedang tidak memuaskan, bisa jadi begitu.
Tapi bahwa negara bukanlah aktor tunggal adalah kenyataan dalam demokrasi. Ketika got-got di kompleks perumahan mampat, ketika motor-motor ngebut di jalan-jalan kampung, ketika aneka grafiti merajalela di pagar-pagar tembok, jelas tak perlu menunggu peran negara untuk mengatasinya.
Publik adalah polisi bagi pelanggaran etika publik jika ia sedang terjadi. Jika seseorang masih menelepon menjelang pesawat tinggal landas, itu tantangan bagi publik untuk menegakkan kedaulatannya. Jika publik berdaulat, insiden pemukulan terhadap pramugari itu tak akan terjadi.
Insiden itu terjadi karena pramugari itu dibiarkan berjuang seorang diri. Publik sedang melakukan tindakan pembiaran, padahal merekalah pemilik kepentingan yang sedang diperjuangkan. Tak jarang kita dengar cerita tentang sopir bus yang ugal- ugalan sementara penumpang hanya bisa menggigil ketakutan.
Bagaimana mungkin penumpang sebanyak itu begitu mudah dipermainkan oleh pihak yang hanya sendirian dan pihak yang dibayar pula oleh penumpang? Dibayar hanya untuk meneror dan dibiarkan. Menang jumlah tapi lemah. Begitulah bahayanya jika publik gagal menjaga kedaulatan yang pernah dimintanya sendiri.

Karena sejatinya ketika kita menunjuk (dengan telunjuk) ke orang lain, 4 jari lainnya akan selalu menunjuki kita.Instropeksi!

Kamis, 23 Februari 2012

Orang-orang yang sedang menunggu

Seringkali saya merasa aneh setiap melihat tukang tambal ban. Keanehan ini membuat saya tidak tahan dan terpaksa jadi tulisan. Amatilah, jika sedang tidak ada kerjaan, tukang tambal ban ini pasti memandang kejauhan, kadang kosong dan menerawang. Ada berjubel imajinasi di kepalanya, tapi hampir satu yang pasti, datangnya ban bocor adalah soal yang paling dia bayangkan. Dan fakta bahwa orang ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, adalah bukti bahwa ban bocor itu setiap hari ada. Dan bahwa ada ban yang selalu dibocorkan oleh keadaan hanya untuk memberi rezeki orang ini saya kira jauh lebih ajaib ketimbang Borobudur dan Air Terjun Niagara. Itulah kenapa menunggu adalah kegiatan yang menakjubkan saya karena ia adalah bentuk usaha tertinggi yang bisa dilakukan manusia.

Apa yang bisa kita kerjakan selain menunggu? Benar ada seminar, ada motivasi, ada kursus ketrampilan, kursus kepribadian, manajemen cepat kaya dan sebagainya. Tetap setelah semua itu dilakukan, pekerjaan terakhir tak ada. Menunggu itulah akhirnya. Seluruh dari kita ini tak lebih dari kaum penunggu. Maka di dalam caramu menunggu itulah terletak martabat hidupmu, begitu nasihatku kepada diriku.

Tukang tambal ini, akan saya anggap gugur mutunya jika sambil menunggu ia ternyata menabur-naburkan paku di lokasi tertentu. Sambil menunggu dagangannya laku, seorang pedagang memang bisa merekayasanya dengan cara memfitnah pesaingnya atau malah mensabot usahanya. Sambil menunggu kekuasaan datang kepadanya, seorang politikus memang bisa melancarkan kampanye hitam untuk kompetitornya. Tetapi saya pasti tidak sedang bicara tentang orang-orang seperti itu karena kepada mereka telah disematkan status yang jelas; kaum rendah perilaku.

Tapi saya pasti sedang bicara tentang seorang tukang tambal ban yang ketangguhannya setara dengan burung-burung yang pagi terbang petang pulang dengan tembolok kenyang. Yang dilakukan burung ini hanya sebatas terbang dan ia tak peduli apakah bursa saham anjlok cuma gara-gara kredit perumahan. Yang dilakukan tukang tambal ini tak lebih hanya duduk menunggu tanpa peduli apakah Honda dan Toyota masih akan memproduksi mobil-mobil mereka ke Indoneisa. Yang dilakukan orang ini hanyalah satu: menunggu. Tetapi di dalam saat menunggu inilah terletak dialog paling intensif antara manusia dengan keterbatasannya. Maka menunggu, sesungguhnya adalah kegiatan yang harus dilakukan dengan gembira, karena itulah saat paling menguji mutu kita sebagai manusia.

Kamis, 02 Juni 2011

Meninggi untuk merendah

ADA yang tinggi tapi tidak meninggikan dan ada yang rendah tapi tidak merendahkan. Itulah kerendahan yang benar dan itulah ketinggian yang keliru. Tapi tidak mudah mengidentifikasi mana tinggi dan rendah yang keliru itu, walau juga tidak sulit. Tidak mudah karena baik yang benar maupun yang keliru bisa berada dalam sebuah ketinggian yang sama. Tetapi tidak sulit, karena mudah alat ukurnya, yakni apakah seseorang kehilangan mutu justru tepat ketika ia sedang meninggi.
REZEKI terbesar seseorang ternyata adalah sudut pandangnya. Banyak sekali persoalan menjadi ruwet bukan karena persoalan itu benar-benar ruwet, melainkan karena ia dipikir secara ruwet. Memang benar ada jenis persoalan yang ruwet. Tetapi di depan sudut pandang pengurai, keruwetan itu akan terurai. Di depan sudut pandang yang terang, bidang yang gelap akan bertemu titik terang.

Begitu juga dengan sebuah bangsa. Indonesia yang luas ini ternyata tidak terlalu luas di tangan sudut pandang yang luas. Sebelum era Twitter berlangsung, para pendiri bangsa ini sanggup menemukan Sumpah Pemuda. Teks Sumpah Pemuda adalah puisi yang tidak pernah gugur keindahannya. Bagaimana mungkin negeri dengan ribuan pulau yang belum dijangkau internet itu bisa demikian mudah bersatu.
Jauh di sebelah zaman komputer tablet, para pemuda “gaul“ zaman itu menemukan bentuk komunikasi yang lebih cepat dari email, yakni spirit kebangsaan.
Spiritualitas adalah teknologi super highway. Ia melesat setara dengan kecepatan cahaya.

Rabu, 09 Maret 2011

Sembah Bektiku

Ketika aku menginginkan keperkasaan dalam hidup , Aku di beri Kelemahan ,,agar Aku Tahu Kebutuhan akan Tuhan.

Ketika aku meminta ksehatan , agar aku dpt melaksanakan Hal2 yg hbat, Aku dbri penyakit , agar Aku dapat melakukan hal2 yg lbih Baik.

Ketika Aku meminta Kekayaan, agar Aku dpt bahagia, Aku di beri Kemlaratan, agar Aku menjadi Bijaksana.

Ketika Aku meminta kekuatan kepada Tuhan agar dapat memperoleh segalanya, Aku di beri Kelemahan , Agar Aku dapat belajar untuk merendahkan Hati untuk Taat.

Aku m'mnta seglany untk dapat menikmati kehidupan, Aku diberi kehidupan agar Aku dapt menikmati Segala- galanya.

Sabtu, 01 Januari 2011

KAMBING YANG HITAM SEKALI . . .

Di setiap cerita kalah harus ada pihak yang salah. Malah jika sebuah tim sepak bola kesayangan kalah, jumlah pihak yang dianggap bersalah itu bisa banyak sekali. Misalnya, karena pemain terlalu sibuk diwawancarai, sibuk melayani undangan ke sana kemari, terlalu banyak dipuji, sibuk dipolitisasi dan sibuk menggelar acara di luar bola termasuk acara doa bersama. Bayangkan, cuma karena kalah, orang berdoa saja bisa dipersalahkan. Jadi jumlah pihak yang bersalah itu bisa banyak sekali, dan kambing itu akhirnya tidak cuma hitam tetapi malah hitam sekali.

Di Indonesia, prosedur kalah itu rumit sekali. Untuk mencari di mana ujungnya ia harus berliku ke sana kemari. Ke mana saja kita memandang yang ketemu cuma tudingan. Semua jari menuding, sampai yang benar-benar harus dituding tidak ada. Mencari sumber kesalahan adalah sesuatu yang rumit, karena tak ada pihak yang mengakui. Alih-alih diakui, sebuah kesalahan malah bisa dikaburkan, dihapuskan dan dilupakan. Itulah kenapa mengulang kesalahan hampir-hampir menjadi tradisi.

Inilah asal-usul kepemilikan mental kalah itu. Mental ini amat rapi menempatkan sebuah kesalahan di ceruk yang sangat dalam, rapat dan tersembunyi. Kesalahan tidak dipacak di tempat terbuka agar mudah dikuliti bersama dan dibersihkan noda-nodanya. Kesalahan lebih banyak diselimuti, dihias dengan permakluman dan pembenaran. Hasilnya, mengulang kesalahan menjadi soal yang amat mudah terjadi. Seseorang bisa ringan hati melakukan kesalahan kerena biang kesalahan itu sudah mengalami pengabstrakan, anomin, dan berserak banyak sekali.

Orang tak perlu risau membuang sampah sembarangan karena pelakunya banyak sekali. Orang tak perlu takut korupsi karena penggemarnya banyak sekali. Kolektivitas adalah benteng yang aman bagi kesalahan. Maka peternakan kesalahan terus dilestarikan dan tak boleh dibiarkan sendirian. Kesalahan harus didesain sedemikian rupa agar menyulitkan hukuman. Cara temudah ialah dengan cara mengerjakannya secara bersama-sama dan meniadakan aktor utama. Maka jika korupsi, ia harus dibagi rata dengan cara mengucur ke bawah, mengibas ke samping dan menyembur ke atas. Dengan cara ini hukum cuma bisa geleng-geleng kepala. Tapi karena menggeleng pun tak lagi ada gunanya sehingga banyak hukum yang memilih untuk ikut mengangguk-angguk saja.

Jadi mental kalah itu bukan cuma sekadar persoalan sebuah tim sepak bola. Ia adalah “budaya leluhur” yang diwariskan pada generasi berikutnya dan telah menyebar ke segenap jurusan. Jika pengendara sepeda motor ditilang karena spion tidak lengkap misalnya, ia akan berkata bahwa polisi adalah tukang mencari-cari. Pengendara ini lalu merasa adalah pihak yang dizalimi. Karena betapa banyak kesalahan yang sama, tetapi kenapa yang ditiliang cuma dirinya. Orang ini lalu merasa malang dan dikorbankan. Begitu penuh konsentrasinya kepada perasaan malang itu sampai ia lupa pada kesalahannya sendiri.

Di dalam budaya mental kalah, bisa berlaku pemikiran terbalik: pelaku bisa merasa sebagai korban. Pemilik kesalahan bisa merasa sebagai korban kezaliman. Jika masih begini cinta sebuah bangsa kepada barang salah, ia akan terus dihadiahi mental kalah.

Minggu, 17 Oktober 2010

Sungguh, keindahan pagi itu tidak akan datang sebagai hadiah. Tak peduli udara pagi selalu lebih segar, tak peduli apakah di pagi hari burung-burung selalu bernyanyi, tetapi bagi hati yang sumpek, semuanya tak punya arti.

Alam memang memberikan banyak setiap kali, tetapi percuma saja jika kita tidak punya tempat untuk menerima. Apa yang sedang saya upayakan itu adalah mengajak siapa saja untuk lebih punya kesiapan menerima. Kegembiraan adalah sejenis udara bebas yang harus kita tangkap dengan memertinggi daya dan pemancar penerima. Dan pemancar itu, tidak bisa dibangun sendiri, tapi harus bersama-sama.