Senin, 31 Mei 2010

Orang-orang yang ditinggal pergi . . .




BJ Habibie yang penemu teori Retakan Habibie, salah seorang manusia tercerdas di planet bumi, wakil presiden, yang akhirnya menjadi salah satu presiden negeri ini, ternyata adalah lelaki tua biasa ketika istrinya tiada. Ia tampak sebagai sosok pria sepuh yang rapuh dan terguncang. Bukti lama itu muncul kembali, bahwa peran akal gugur, ketika cinta sedang memegang kendali.

Saya takjub pada peragaan cinta seperti ini. Walau secara akal, tokoh ini telah berjalan amat jauh, cinta itu terus mengikuti. Sepanjang-panjang keilmuwan Habibie berjalan, sepanjang karier dan kekuasaan itu menjulang, cinta itu lekat dalam genggaman. Sementara betapa banyak pejalan pendek, perkawinan pendek, yang gagal menyemai cinta semacam ini. Sudah pendek prestasi, gagal lagi. Ada yang kawin, sejenak kemudian, sudah sibuk menggebuki istri, rebutan anak, dan bertengkar di pengadilan untuk menghitung harta gana-gini. Maka guncangan Habibie itu bagi saya setara dengan temuan teorinya, Retakan Habibie, ia terasa sebagai keteladanan.

Minggu, 30 Mei 2010

Energi Penarik


Ada energi penarik, ada energi penolak. Itulah kenapa ada orang-orang yang tertarik dan ada orang-orang yang tertolak. Ada orang yang kedatangannya kita sambut gembira, ada orang yang baru melihat wajahnya saja sudah mendatangkan banyak masalah di kepala.

Energi penarik itu ada yang bernama kerendahan hati, seperti yang diperagakan Gesang misalnya. Tokoh ini meninggi justru karena selalu merendah. Rasanya tidak pernah saya mendengar Gesang mengomel tentang nasib seniman, tentang pembajakkan kaset, tentang perhatian pemerintah yang kurang, tentang perhatian pada musik keroncong dan seterusnya. Semua penghargaan yang datang kepadanya itu bukan hasil dari omelannya, tetapi dari tarikan perilakunya.

Watak rendah hati itu membuat efek balik yang luar biasa. Jika ia membesar, orang lain tidak mengecil. Jika ia dihargai, tidak mendorong rasa iri.

Sabtu, 15 Mei 2010

OPLOSAN KEBUDAYAAN




Minuman oplosan yang banyak menelan korban jiwa itu, saya curiga, sebetulnya adalah hasil dari bakat kebudayaan. Soal bahwa bakat itu kemudian berjalan ke lain jurusan, lain kali soal ini bisa didiskusikan.Tetapi tradisi mengoplos dan inkulturasi adalah tradisi besar bangsa ini. Di Indonesia, sebetulnya tidak ada perbedaan yang tidak rukun mulai dari agama, bahasa, kesenian hingga makanan. Bakat pertengkaran kita atas perbedaan itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan bakat kerukunan kita atas perbedaan. Perbedaan paling musykil sekalipun bisa dikawinkan termasuk minuman oplosan ini.

Sabtu, 08 Mei 2010

Asas Kompatibelitas (untuk kakak kelas SMAku : Mbak Sri Mulyani Indrawati)



Mungkin saja ada yang salah dari keputusanmu, mungkin ada yang salah dari negeri ini, dan mungkin saja ada dua kesalahan bertemu lalu menghasilkan kesalahan baru. Semuanya serba mungkin. Tetapi bukan kapasitas akalku untuk mengerti isi kemungkinan itu. Yang bisa kulakukan adalah cukup mengerti dengan rasaku, berdasar bimbingan kemungkinan itu sendiri.
Jika semuanya serba mungkin, maka ada kemungkinan engkau benar, ada kemungkinan engkau keliru. Untuk terhindar dari keruwetan penafsiran aku memilih memercayai nilai akhir saja. Karena di setiap ujung kemungkinan selalu menyimpan nilai akhir. Dan aku tidak melihat akhir yang layak untuk dicemaskan darimu. Yang kulihat malah sejenis ketakjuban. Yang aku takjubi tentu bukan soal seberapa makin tingginya jabatan di tempat yang baru, bukan seberapa makin besarnya gajimu, tetapi lebih pada begitu mudah terjadi resonansi penerimaan atasmu.
Memang selalu ada penolakan dari setiap penerimaan. Para pribadi terpilih pun selalu memiliki para penolak. Pemimpin paling favorit sekalipun selalu punya pembenci. Ini bukan hukum yang aneh.

Amnesia Tiban

ADA pasar tiban,ada dukun tiban dan akhirnya ada juga penyakit tiban. Penyakit yang datangnya ujug-ujug, serba mendadak dan ia tiba tepat pada waktunya. Misalnya tepat pada saatnya harus jadi tersangka lalu terserang penyakit amnesia. Lupa ingatan, untuk waktu yang tidak ditentukan.
Penyakit ini termasuk luar biasa kalau ukurannya adalah ketepatan waktu. Jika cuma soal penyakit lupa, ia pasti bukan soal istimewa.Negeri ini penuh dengan wabah lupa ingatan. Kesalahan yg kemarin terjadi bisa diulang hari ini. Kemarin koruptor baru masuk bui, hari ini pendatang baru yg siap jadi tersangka sudah antre. Sudah paham kinerja lembaganya sedang dikritik di sana-sini tetap saja tampil gaya, parlente apalagi kalau ngerti sedang disyuting tv.
Tetapi di sebuah negara dengan tradisi tepat waktu yg terkenal langka, penyakit ini membuktikan diri sebagai pihak yg sebaliknya. Ia sangat sadar timing, paham momentum dan peka keadaan. Naluri yg mestinya dimiliki oleh para pemimpin dan pemegang mandat publik ini ternyata malah lebih dulu dimiliki oleh penyakit dan rombongannya. Termasuk dalam rombongan ini adalah orang mati. Karena ada seseorang yg ditetapkan sebagai saksi kunci tepat ketika yg bersangkutan baru saja mati. Betapa susah menjadi tenang tinggal di sebuah keadaan ketika bahkan kematian saja masih terus menerus digoyang persoalan. Ada orang mati yang KTP-nya dipinjam untuk modal mengumpulkan dukungan. Ada orang mati dibunuh yg pembunuhnya masih dibiarkan gentayangan. Ada orang mati yg kalau perlu rohnya dihadirkan di persidangan karena kewajibannya memberikan kesaksian.
Termasuk anggota rombongan tepat waktu lainnya adalah orang-orang pintar, orang sukses dan terpelajar yang mendadak saja terserang penyakit dungu tepat saat kepintarannya justru dianggap dibutuhkan. Seluruh isi dunia ini adalah soal2 yg mendadak asing baginya, walau itu menyangkut soal2 sederhana.

Apa saja jenis pertanyaannya akan dijawab dengan jawaban serupa : "Tidak Tahu!!"
Seorang hakim di pengadilan sampai kehilangan kesabaran menghadapi jawaban semacam ini dan katanya kemudian : "Hanya Tuhan yang agaknya sanggup membuatmu mengaku."

Begitu membingungkan persoalan hukum di sini, sehingga jangankan bagi para awam, bahkan seorang hakimpun bisa terancam putus asa dan harus mengadukan kebuntuan profesinya kepada Tuhan. Di negara ini tampaknya sedikit saja kesanggupan kita menyelesaikan persoalan sehingga banyak urusan yg sejatinya remeh temeh harus dibebankan kepada Tuhan.

[BUKAN] Masa Bakti


Istilah masa bakti sebaiknya diganti saja dengan sebutan yg lebih wajar :MASA KERJA. Persoalannya apakah benar, para penghuni masa bakti itu selalu orang - orag yang hendak berbakti. Karena terbukti banyak sekali yang tertangkap basah korupsi. Maka tega benar para koruptor itu menyebut diri mereka pihak yang berbakti!

Tak perlu ragu menyebut seluruh waktu kita di kantor sebagai masa kerja saja. Tak ada yang memalukan dari istilah ini,apalagi kita memang dibayar untuk itu. Padahal gaji telat tanggal saja sudah bisa menyulut demonstrasi.Mana mungkin demonstrasi begini diperagakan oleh pihak yg menyebut dirinya pengabdi.
Memang selalu ada orang-orang yg memiliki naluri mengabdi. Di rumah sakit paling penuh kritikpun ada dokter dan perawat yg benar-benar ingin melayani. Begitu juga di kantor polisi, di kantor tentara dan di dalam birokrasi. Tetapi orang2 yg tulus itu, pasti tidak pernah peduli apakah mereka disebut sedang bekerja atau sedang mengabdi. Mereka adalah pribadi yang tidak ribet. Seluruh keribetan itu biasanya selalu datang dari pihak yang memang ribet. Pihak yg ingin terlihat mulia walau buruk kelakuannya. Pihak yg rendah kontribusinya tetapi harus dianggap paling berjasa. Dan ini yang paling berbahaya : pihak yg kelasnya sebagai peminta tetapi berlagak sebagai pemberi. Malah kalau peluangnya ada, kelas peminta itu akan naik tingkat menjadi pencuri pula.
Jadi kerja saja,tak perlu mengabdi, karena bukti2 pengabdian itu rendah sekali. Seluruh pelayanan publik ini adalah bukti. Tanpa pelici, sulit sekali tugas - tugas pelayanan itu bergerak. Untuk soal yg jelas - jelas telah menjadi tugas saja begitu banyak mandat yg diingkari. Tetapi justru dalam iklim semacam itulah masih saja diawetkan sebutan2 yang mempertinggi sesuatu yg jelas2 rendah.

Sebetulnya banyak sebutan indah di negeri ini. Tetapi ketika ia gagal menepati bunyinya sendiri, itulah pangkal kemuakan publik. Masa bakti itu mestinya memang ada, tetapi harus benar2 diperuntukkan bagi pihak yg mengabdi. Bukan pihak yg menjadi pedagang perkara, makelar kasus, mafia hukum dan penjual birokrasi.
Marilah bersahaja terutama kepada diri sendiri.Jika minat menjadi pegawai negeri sebetulnya hanya untuk mendapat jaminan pensiun, tak perlu membahasakan diri sebagai hendak mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Karena pada dasarnya Ibu Pertiwi juga tidak meminta banyak. Yang wajar saja.Sekadar mencari jaminan pensiun pun boleh saja, asal ditebus dengan kewajaran. Jangan mau pensiunnya saja tapi enggan pada kewajibannya. Perizinan yg mestinya rampung dalam sehari harus dibuat sebulan bukan cuma karena kemalasan tetapi karena ia juga bisa dipakai untuk menambah uang jajan.

Kepada negara sebetulnya kita tidak perlu sok mulia tetapi kalau perlu malah cukup bertransaksi saja. Elu jual,Gue beli. Begitu saja,asal apa yg kita dapatkan benar2 kita bayar harganya. Dan harga itu pun tidak perlu tinggi2 amat, yang wajar saja, karena memang cuma itulah kewajiban kita. Cuma para pahlawan yang sanggup membayar harga lebih tanpa menggerutu, tanpa namanya minta dimuat di koran dan tanpa perlu mengundang wartawan saat sedang menyumbang.

Kita ini butuh menjadi orang2 biasa saja. Jangan kelas yg sudah biasa inipun sering kita kurangi takarannya sehingga jangankan jadi manusia luar biasa, menjadi orang biasa saja kita sudah kekurangan harga.