Minggu, 20 Juni 2010

OH ARIEL . . .



Sebulan terakhir ini frasa "mirip Ariel" benar-benar menguasai media massa melebihi popularitas Ariel sendiri. Jika kata "mirip" ini tidak segera diselesaikan setidaknya ada tiga korban yang layak dikasihani. Pertama wartawan, kedua publik, ketiga Ariel sendiri.

Kenapa wartawan? Karena penulisan "mirip Ariel" itu adalah gambaran ketidakberdayaan media dalam menulis mana fakta mana fiksi. Tak ada beban yang lebih berat bagi wartawan selain kegagalannya memberitakan mana kebenaran mana kebohongan. Dalam kasus "mirip Ariel" ini wartawan memilih sekadar berlindung di dalam ceruk yang aman karena kemiskinan budaya investigasi.

Korban kedua adalah publik. Selama berhari-hari publik dicekoki sejenis teka-teki yang sejatinya tidak penting dan tidak mendesak tapi terpaksa menjadi penting dan mendesak karena dipentingkan dan didesakkan oleh media. Akhirnya kasus "mirip Ariel" ini berekskalasi dari sekadar berita infotainment menjadi urusan negara. Publik sudah kepalang terganggu oleh misteri "mirip Ariel".

Dan ketika negara gagal menjelaskan siapa sesungguhnya yang mirip itu, maka akan bertambah panjang saja daftar utang negara kepada publik.
Korban ketiga adalah Ariel. Jika yang terjadi selama ini ternyata memang haya mirip, betapa kasihan si Ariel ini.

Kapasitas Ariel selama ini pasti melulu sebagai artis, sebagai anak band. Perangkat psikisnya pasti tidak di persiapkan untuk menerima stigma sedahsyat ini. Karena meskipun cuma dikatakan sebagai mirip, kata mirip itu tidak tak pernah terlepas dari kata Ariel.

Dan "mirip Ariel" lalu sudah kepalang ditonton sebagai bioskop massal dari Sabang sampai Merauke, dari Nias sampai Pulau Rote, malah jadi pembicaraan hingga ke Afrika Selatan.

Maka kalau ternyata yang terjadi hanyalah mirip, maka biarlah Ariel segera mendapatkan keadilannya. Biarlah si mirip segera berpisah dari Ariel dan biarlah Ariel kembali ngeband dan menyanyi seperti sediakala.

Tapi jika si mirip itu benar-benar Ariel tak ada gunanya lagi menunda-nunda. Karena setiap penundaan hanya akan menjadi dosa sosial dengan sistem bunga-berbunga. Setiap satu kebohongan lahir, akan lahir kebohongan baru sebagai anak turunnya. Dan ia akan terus beranak-pinak tanpa bisa dihentikan sampai sang induk kebohongan dimatikan.

Maka bukan cuma Ariel sendiri yang berkewajiban mempercepat kejelasan ini tapi juga negara dengan segala perangkat hukumnya. Untuk Ariel jelas, kalau si mirip itu memang dirinya, percepatan itu akan memperpendek jalur deritanya. Tak ada jalan lain bagi orang yang berutang kecuali dengan membayarnya, semakin cepat ia membayar semakin ringan tanggungan hidupnya.

Periode bayar utang ini memang berat dan pahit. Tapi keberanian membayar utang itulah tindakan yang akan mengembalikan manusia kepada martabat hidupnya. Kekeliruan bukan aib bagi manusia, kecuali ia enggan membayar ongkosnya.
Bagi negara kecepatan menjelaskan siapa si mirip ini lengkap dengan konsekuensi hukumnya akan menjadi infak publik yang berharga.

Negara, karenanya akan sukses mengirim pesan kepada publik; tak peduli apakah atas nama koleksi pribadi tapi sebaiknya manusia memang mengoleksi soal yang baik-baik saja. Jangan mengoleksi segala sesuatu yang jika terbuka tak ada seorang pun yang sanggup menanggungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar