Sabtu, 21 Agustus 2010

Hari Mengeluh Nasional

RASANYA, siapa saja menjadi pengeluh pada hari-hari ini. Rakyat mengeluh karena ledakan tabung gas dan kemelambungan harga sembako, pengusaha mengeluh karena rencana kenaikan tarif dasar listrik, anggota dewan mengeluh atas kinerja pemerintah, presiden mengeluh karena kritik dan liputan media. Persoalannya, kalau semua pihak mengeluh, lalu siapa yang akan menjadi pendengarnya?

Jika sebuah keluarga tak mempunyai tempat untuk mengeluh, keluarga itu akan menjadi rapuh. Jika sebuah masyarakat tidak memiliki figur untuk mengeluh, masyarakat itu akan menjadi kumpulan keganasan. Jika sebuah negara hanya berisi orang-orang yang mengeluh, negara tersebut akan diombang-ambingkan bukan oleh penderitaan, tetapi lebih banyak oleh perasaan. Jika rasa menderita itu berlangsung kolektif, ia akan segera dipercaya sebagai kenyataan. Lihat saja bias perasaan itu, kita mulai dari keluhan pengusaha yang saya lihat di televisi ini.

“Jika TDL naik lagi habislah pengusaha kita. Listrik untuk rumah tangga juga harus dinaikkan. Jangan pengusaha terus yang ikut menanggung...,” kira-kira begitu sebagian katanya.

Benar, kenaikan itu pasti memberatkan pengusaha. Tetapi apakah pengusaha menjadi pihak yang paling berat? Tidak. Dibanding beratnya rakyat, berat pengusaha pasti tak seberapa. Terjauh paling bangkrut.

Padahal jika cuma kebangkrutan, rakyat pasti sudah lebih dulu bangkrut tetapi mereka masih kuat sebagai rakyat. Jadi meskipun berat, pengusaha harus tetap kuat sebagai pengusaha, sebagaimana rakyat tetap kuat sebagai rakyat.

Apalagi jika yang disebut “habis” itu cuma berarti keuntungan yang berkurang saja. Hanya berkurang, tetapi bukan berarti tidak untung.

Jika yang berlangsung hanya keberkurangan keuntungan, sementara ia dibahasakan sebagai tamat, habis, berat, mati, bangkrut dan semacamnya, pilihan kata ini sungguh melemahkan.

Dan lama-lama pengusaha semacam itu akan sengsara oleh asumsinya sendiri, karena ia sesungguhnya merasa bangkrut di dalam keuntungan.

Cuma karena untung itu kurang banyak, lalu memutuskan untuk menderita. Ini pilihan sikap yang tidak produktif.

Pengusaha memang mempekerjakan orang kecil, tetapi jangan merasa pengusahalah yang menanggung nasib si kecil, karena ada banyak kekecilan yang malah menanggung kebesaran.

Tak ada yang perlu merasa paling berjasa, karena semua pihak pasti berjasa di tempatnya, termasuk orang kecil.

Tetapi rakyat juga begitu. Saya sebagai rakyat, pasti pihak yang sangat terlibat dengan seluruh keberatan ini.

Saya bisa mengeluhkan seluruh persoalan di negeri ini, tetapi itu pasti malah akan membunuh diri saya lebih cepat.

Karena rakyat yang berat ini, ternyata adalah juga rakyat yang semangat membeli pulsa untuk ngobrol berlama-lama tanpa arti, untuk mengirim SMS idola mereka di aneka lomba idol-idol-an televisi.

Rakyat yang mengaku berat itu juga banyak memfasilitasi anak-anaknya kebut-kebutan di jalanan sambil menghambur-hamburkan bensin.

Sementara orang tua mereka yang mengaku cekak penghasilan itu, dan sebagian lain malah pengangguran, bisa juga merokok tak berkesudahan.

Jadi, keadaan memang berat, tetapi ada jenis pihak yang menjadi faktor pemberat dan ada perilaku yang makin membuat keadaan menjadi berat. Lalu siapa yang masuk dalam daftar para pemberat itu?

Tidak ada tertuduh tunggal dalam soal ini. Siapa saja dari kita punya potensi sebagai pemberat sepanjang daftar omelan kita jauh lebih panjang katimbang produktivitas hidup kita.