Sabtu, 04 September 2010

Perang Itu Gampang!

JIKA cuma perang itu soal gampang, karena Indonesia tidak kekurangan keberanian. Dengan senjata seadanya pun maju saja, jika keadaan memang meminta. Yang sulit pasti faktor penyulutnya.

Celakanya penyulut itu mustahil muncul dari pihak kita, karena Indonesia tak memiliki genetik agresor kepada pihak lain. Indonesia adalah negeri yang jauh lebih berbakat diagresi katimbang mengagresi. Ini bukan soal nyali, ini soal kultur. Budaya mengagresi itu tidak ada. Baru ketika diagresi akan tampak bahwa seluruh bakat untuk berani mati itu terbukti.

Sayang yang disebut agresi itu harus bersifat dramatik. Ia harus berupa sejenis invasi atau penjajahan. Jika cuma pembajakan budaya, klaim atas batik, angklung, sampai sengketa perbatasan, itu sekadar soal romantisme bertetangga. Kehilangan satu dua pulau pun juga tak mengapa sepanjang lewat perundingan. Ini juga kultur. Indonesia memiliki daftar sejarah perundingan penuh kerugian, mulai dari zaman Dipanegara hingga Kartosuwiryo. Sekali lagi bukan karena kita kekurangan kecerdasan, melainkan karena besarnya budaya perasaan. Betapapun marah kita pada seseorang, jika orang itu mau datang bertandang, seluruh barang bisa kita berikan. Inilah dampak seni perasaan itu. Merugi lebih disukai, ketimbang harus tak enak hati.

Jadi konflik Indonesia-Malaysia ini sudah terbayangkan, pasti cuma akan berupa tantang-tantangan yang panjang sepanjang tidak ada yang lebih dulu menyerang. Padahal untuk mengharap kita menyerang lebih dulu pasti sulit karena alasan yang sudah saya sebutkan. Selain tidak tega, cadangan peluru kita juga tak seberapa. Untuk menunggu Malaysia lebih dulu menyerang juga mustahil. Besar sekali konsekuensinya. Indonesia saat ini bisa jadi bukan negeri yang ditakuti, tetapi pasti negeri yang disayangi. Semua bangsa merasa berkepentingan dengan negeri elok ini. Lagipula Malaysia pasti tahu, jika sudah marah, Indonesia bisa sangat nekat. Di Indonesia, jika sudah mata gelap, seorang suami bisa tega memalu kepala istri. Bayangkan kepala istri sendiri saja dipalu, apalagi cuma kepala tetangga, pasti soal sederhana. Maka, mencegah Indonesia menjadi kalap, pasti sudah menjadi kesadasarn kolektif bangsa-bangsa di dunia. Apalagi dengan intensitas penderitaan yang berlangsung akhir-akhir ini. Darah manusia Indonesia akan serupa minyak yang menunggu api. Jika perang itu dimulai, tawuran antarkampung yang masih suka berlangsung di sana-sini itu pasti akan berhenti dan berpindah lokasi. Semakin menderita seseorang, semakin tidak takut mati. Dan Malaysia pasti tahu ini.

Bakat kultural semacam ini bukan tanpa kerugian, tetapi entah kenapa sebagai pribadi tak ada yang harus saya sesali. Saya akan mengambil kodrat saya sebagai bangsa ini dengan rela hati. Dalam beberapa hal, saya malah bangga dikenal sebagai bangsa yang dijajah, tapi tidak pernah menjajah. Betul, bahwa keterjajahan itu sebagian karena kelemahan. Tapi bahwa sebagian lagi karena watak kita yang mudah berprasangka baik dan mudah mengalah, itu juga saya yakini. Dan itu malah mendatangkan perasaan besar hati. Pendek kata, saya tidak risau pada sikap nonagresi kepada lain bangsa ini. Yang saya risaukan justru agresivitas kita kepada diri sendiri. Soal ini kita memiliki sejarah panjang. Perpecahan di antara kita sendiri selalu jauh lebih menakutkan ketimbang peperangan melawan musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar