Sabtu, 08 Mei 2010

Asas Kompatibelitas (untuk kakak kelas SMAku : Mbak Sri Mulyani Indrawati)



Mungkin saja ada yang salah dari keputusanmu, mungkin ada yang salah dari negeri ini, dan mungkin saja ada dua kesalahan bertemu lalu menghasilkan kesalahan baru. Semuanya serba mungkin. Tetapi bukan kapasitas akalku untuk mengerti isi kemungkinan itu. Yang bisa kulakukan adalah cukup mengerti dengan rasaku, berdasar bimbingan kemungkinan itu sendiri.
Jika semuanya serba mungkin, maka ada kemungkinan engkau benar, ada kemungkinan engkau keliru. Untuk terhindar dari keruwetan penafsiran aku memilih memercayai nilai akhir saja. Karena di setiap ujung kemungkinan selalu menyimpan nilai akhir. Dan aku tidak melihat akhir yang layak untuk dicemaskan darimu. Yang kulihat malah sejenis ketakjuban. Yang aku takjubi tentu bukan soal seberapa makin tingginya jabatan di tempat yang baru, bukan seberapa makin besarnya gajimu, tetapi lebih pada begitu mudah terjadi resonansi penerimaan atasmu.
Memang selalu ada penolakan dari setiap penerimaan. Para pribadi terpilih pun selalu memiliki para penolak. Pemimpin paling favorit sekalipun selalu punya pembenci. Ini bukan hukum yang aneh. Ini kewajaran yang jamak saja. Kemenangan mutlak itu tidak ada, kekalahan mutlak juga tidak mungkin. Tetapi yang aku tahu, di dalam sejarah ini selalu saja ada jenis penolakan kecil yang akhirnya malah memaksa seseorang untuk tiba di sebuah penerimaan besar. Di mana-mana, selalu terjadi pengusiran yang indah ini, karena ia hanya akan mengembalikan seseorang kepada ukurannya yang sepadan.

Itulah asas kompatibelitas. Kepada setiap mur hanya akan terpaut dengan baut yang seukuran. Di negeri ini mungkin terlalu banyak ukuran yang ganjil. Jangankan di sebuah birokrasi tinggi, bahkan di sebuah toko bangunan pun, tukang di rumah tetangga saya bisa pulang dengan tangan hampa cuma untuk membuat konfirmasi ulang. Padahal tidak ada yang berat dengan tugasnya. Padahal ia hanya diminta untuk membeli besi kolom ukuran sepuluh mili. "Butuh yg sepuluh gemuk atau sepuluh kurus?"kata pemilik toko seperti yg ditirukan Pak Tukang.
Angka sepuluh saja di negaraku ini terbagi setidaknya ada gemuk ada kurus, semua pasti karena konsekuensi biaya dan untung-rugi disebaliknya. Itulah risiko ukuran jika sudah dihadapkan pada asas biaya, ia bisa berubah-ubah mengikuti cuaca. Tetapi di luar soal biaya, ada ukuran yang tidak bisa berubah. Setiap gelombang akan mencari padanan frekuensinya. Jika engkau baik, maka kodratmu hanya akan berkumpul dengan kebaikan yang sama. Di tengah kebersihan, sedikit kekotoran saja akan jelas sebagai noda, begitu juga sebaliknya. Garbage in,Garbage out. Jika yang masuk sampah,sampah pula yg keluar. Ini hukum yg amat tua dan sampai sekarang masih diperagakan oleh pencernaan burung beo : masuk merah, keluar merah. Inilah asas kompatibelitas.

Maka kini, yang aku cemaskan bukan lagi kepergianmu. Akan ada banyak ukuran yang kompatibel untuk ukuranmu apalagi jika engkau benar2 punya ukuran. Yang aku cemaskan malah ukuran-ukuran disekitar yang begitu kaya varian sehingga malah nyaris tanpa ukuran. Apapun ukuran yang akan dikenakan akan selalu tidak cocok oleh berbagai alasan. Bisa karena alasan politik, bisa oleh sekedar kedengkian. Maka tradisi bongkar pasang pasti akan menjadi kesibukan sebuah bangsa yang gagal ukuran. Jalan2 berlobang akan sibuk dihaluskan hanya untuk dibuat benjolannya kembali. Trotoar-trotoar dibangun hanya untuk kembali digali disana-sini. Sungguh tidak ada kesibukan yg lebih celaka ketimbang kesibukan yang tidak membawa pemiliknya kemana-mana kecuali pada kebingungan.
Akan banyak pemilik ukuran pergi untuk mencari padanan yang seukuran sambil meninggalkan sebuah tatanan yang tak henti-hentinya gagal menetapkan ukuran.

Lepas dari itu semua,aku lega karena engkaulah yang mewakili negara kita di panggung dunia.Selamat (kembali - selalu)berkarya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar