Sabtu, 15 Mei 2010

OPLOSAN KEBUDAYAAN




Minuman oplosan yang banyak menelan korban jiwa itu, saya curiga, sebetulnya adalah hasil dari bakat kebudayaan. Soal bahwa bakat itu kemudian berjalan ke lain jurusan, lain kali soal ini bisa didiskusikan.Tetapi tradisi mengoplos dan inkulturasi adalah tradisi besar bangsa ini. Di Indonesia, sebetulnya tidak ada perbedaan yang tidak rukun mulai dari agama, bahasa, kesenian hingga makanan. Bakat pertengkaran kita atas perbedaan itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan bakat kerukunan kita atas perbedaan. Perbedaan paling musykil sekalipun bisa dikawinkan termasuk minuman oplosan ini.

Minuman keras murahan itu, biasanya sudah berisi bermacam - macam campuran. Jika ini dianggap belum cukup bisa ditambah lagi dengan spiritus. Jika spiritus belum cukup, tambah lagi pentol korek. Jika ini masih dianggap kurang telengas, ada kemungkinan akan ditambah bensin. Jika ini masih kurang ganas, masih ada solar,avtur, oli bekas sebagai bahan oplosan masa depan.
Tak peduli apa pun perbedaannya, betapapun kontrasnya, semua bisa dioplos dan dikawinkan. Maka tradisi kontras itu sebetulnya tidak dikenal di Indonesia, karena yang dikenal kemudian adalah grey area, ruang remang - remang yang tidak jelas adakah ia hitam atau putih, terang atau gelap. Tetapi inilah kelebihan ruang remang - remang itu: butuh putih ada, hitam juga ada. Butuh hitam keputih-putihan, atau putih kehitam-hitaman juga ada. Mau sedikit terang ada, sedikit gelap juga ada. Mau terang yang kegelap-gelapan ada, mau gelap yg keterang-terangan juga ada.

Itulah kenapa masyarakat sering tidak memiliki vonis tunggal atas sebuah pribadi, betapapun seseorang itu pernah distigmakan sebagai buruk kelakuan. Walau telah dikabarkan sebagai pribadi yang korup, tapi apa daya di wilayahnya ia terkenal sebagai dermawan. Di desa asalnya, orang ini bisa mengaspal jalan, membangun rumah ibadah dan menyantuni anak - anak yatim. Di sebelah wajahnya, ia adalah penggerogot uang negara yg banjir kutukan, tetapi di sebelahnya lagi berisi doa dan pujian.

Begitu pula wajah-wajah di media massa kita. Ia dipenuhi oleh berbagai oplosan perasaan. Ada yang hari ini diberitakan sebagai penerima suap tetapi esok hari ia telah berganti wajah sebagai pahlawan dan korban kezaliman. Atau media massa sendiri itu juga sudah bentuk oplosan karena di dalamnya mulai bercampur bermacam-macam peran. Dari sekedar peran penyiar berita sampai (jika perlu) perekayasa berita. Maka reaksi masyarakat Indonesia pada akhirnya juga terimbas budaya oplosan ini. Kepada wajah yang sama, kita tak jelas hendak marah atau iba. Marah saja tidak mungkin kalau ada unsur iba di dalamnya. Iba saja juga sulit karena jelas-jelas ada yang salah pada dirinya. Begitu juga ketika ada seorang pejabat tinggi pergi, tak mudah bagi publik untuk mengekspresikan hanya dengan satu reaksi. Haruskah merasa kehilangan dan meratapi, atau justru berbahagia dan menyoraki.

Pada mulanya, bakat mengoplos adalah sebuah peristiwa kebudayaan. Tetapi persoalannya, kita sama sekali tidak pernah menyangka jika kemudian ia akan berkembang sampai sejauh ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar