Senin, 31 Mei 2010

Orang-orang yang ditinggal pergi . . .




BJ Habibie yang penemu teori Retakan Habibie, salah seorang manusia tercerdas di planet bumi, wakil presiden, yang akhirnya menjadi salah satu presiden negeri ini, ternyata adalah lelaki tua biasa ketika istrinya tiada. Ia tampak sebagai sosok pria sepuh yang rapuh dan terguncang. Bukti lama itu muncul kembali, bahwa peran akal gugur, ketika cinta sedang memegang kendali.

Saya takjub pada peragaan cinta seperti ini. Walau secara akal, tokoh ini telah berjalan amat jauh, cinta itu terus mengikuti. Sepanjang-panjang keilmuwan Habibie berjalan, sepanjang karier dan kekuasaan itu menjulang, cinta itu lekat dalam genggaman. Sementara betapa banyak pejalan pendek, perkawinan pendek, yang gagal menyemai cinta semacam ini. Sudah pendek prestasi, gagal lagi. Ada yang kawin, sejenak kemudian, sudah sibuk menggebuki istri, rebutan anak, dan bertengkar di pengadilan untuk menghitung harta gana-gini. Maka guncangan Habibie itu bagi saya setara dengan temuan teorinya, Retakan Habibie, ia terasa sebagai keteladanan.

Begitulah mestinya cinta itu ditangkarkan. Ia harus melebihi intelek, karier dan kekuasaan. Ketika lengser sebagai Presiden, Habibie biasa saja. Ketika Timor Timur lepas karena referendum, ia berkata tangkas: “Itulah harga demokrasi.”

Tetapi tidak ketika ia ditinggal itsri. Begitulah mestinya suami bagi istri, dan istri bagi suami. “Istri adalah sumber berkah dan rezeki,” tulis penyair Darmanto Jatman. Mas Dar kini pasti harus mengamini sajaknya sendiri. Mas Dar yang kini sedang berjuang sembuh dari sakit, selalu ada Mbak Mur yang sabar mendampingi.

Kini, sudah saatnya Indonesia mengampanyekan keteladanan berkeluarga sabagai program besarnya. Orang-orang hebat seperti Habibie, Boediono dan Sri Mulyani pasti lahir dari keluarga yang sehat, bukan jenis keluarga yang sehari-hari saling tarik urat leher, bantingan-bantingan piring dan kursi. Keluarga seperti ini juga tak perlu saling menyembunyikan neraca rumah tangga: yang istri menyembunyikan uang dapur, yang suami mengamankan duit laki-laki. Duit yang saling diamakan untuk kepentingan sendiri-sendiri itu, ternyata cuma akan menumbalkan ketahanan keluarga sebagai ongkosnya. Kerapuhan rumah tangga, jika berlangsung massif, adalah bahaya bagi negara. Di Amerika, untuk menggambarkan kerapuhan sosialnya, tak membutuhkan seorang sosiolog, tapi cukup seorang petinju. “Inilah negeri yang jumlah orang kawin setara dengan jumlah orang bercerai,” kata George Foreman.

Indikasinya, kerapuhan rumah tangga akan menrjadi epidemi baru yang keganasannya jauh melebihi flu burung dan flu babi. Ia menyebar dengan kecepatan mencengangkan seperti virus komputer dan melintasi benua dengan mudahnya. Ketahanan kebudayaan sedang menghadapi ancaman serius karena norma budaya sedang dibuat seragam. Generasi baru ini, di mana pun mereka tinggal tumbuh besar dalam asuhan televisi, keypad komputer dan HP, berkarip dengan teman-teman virtual dan bersahabat dengan game online.

Tetapi sejauh-jauh generasi itu berjalan, mereka akan kembali jika cinta masih memanggilnya. Kini faktor pemanggil itulah yang harus dikonservasi. Di balik duka Habibie itu, saya melihat kekuatan lama yang tak terbantahkan, yakni itulah kekuatan cinta yang membuat sebuah keluarga menjadi tangguh, menjadi induk bagi lahirnya anak-anak unggulan. Bukan anak-anak yang jika membesar cuma akan menjuali sawah bapaknya sendiri.